Senin, 02 Desember 2013

Vikinisasi dan Labil Bahasa

Masih segar diingatan fenomena pertelevisian atau lebih tepatnya “pergosipan” nasional  tentang Viki Prasetyo. Seorang tunangan artis yang tiba-tiba saja menjadi buah bibir khalayak ramai karena  penggunaan bahasa-bahasa yang “tidak biasa”. Lagi-lagi fenomena ini diawalai dari jejaring sosial berbasis video, youtube. Sudah bukan barang asing lagi bila youtube menjadi trend setter pergosipan nasional sebut saja , fenomen Mbah Subur Vs Arya Wiguna, Udin Sedunia bahkan seorang oknum polisi yang jadi artis dadakan, Norman Kamaru. Yang sukses mengorbit kedunia pergosipan nasional berkat jasa Youtube.
Mungkin sebagian masyarakat hanya menganggap peristiwa Vikinisasi sama seperti fenomena-fenomena sebelumnya yang cepat atau lambat ditelan bumi dan hilang. Namun, bila kita kaitkan fenomena ini dengan dunia ketatabahasaan kita maka akan ditemui sebuah fakta menarik. Bahwa ternyata banyak diantara oknum-oknum tokoh publik yang menggunakan motif vikinisasi dalam berbagai penampilanya didepan khalayak. Dalam artian yang terpenting adalah mereka tampak meyakinkan dengan bahasa intelek ditaburi bahasa Inggris, masalah khalayak mampu mencerna kata-kata itu atau tidak bukanlah sesuatu yang perlu dipusingkan bagi mereka.
Bahasa asing telah digunakan sebagai lambang supremasi oleh oknum-oknum tertentu. Jadi tidak penting apakah pendengar memahami apa yang mereka bicarakan, namun yang terpenting adalah mereka dapat mendongkrak “nilai” di depan pendengar dengan penggunaan-penggunaan bahasa asing terebut. Khalayak berlomba-lomba tampil dengan bahasa-bahasa asing yang belum tentu di pahami oleh publik semata-mata agar terlihat lebih intelek. Dalam bahasa sederhana dapat diartikan bahsa seseorang yang bisa berbahasa asing dalam hal ini bahasa inggris, adalah mereka yang “wah” secara intelektual. Tentulah hal ini perlu dikaji ulang, mengingat ada fakta-fakta yang terkait dengan pandangan keliru ini.
Dunia Intelektual di Indonesia memang senantiasa penuh dengan mitos-mitos. Banyak yang menganggap bahwa kemampuan bahasa Inggris adalah sesuatu yang wajib, sehingga akan menimbulkan dosa besar bagi mereka yang tidak menguasainya. Tapi tahukah anda bahwa Prof Rhenald Kasali, seorang pakar manajemen terkemuka, saat berangkat kuliah ke Amerika Serikat (AS) dengan bahasa Inggris pas-pasan? Tahukah anda bahwa Prof Yohannes Surya juga berangkat ke Amerika dengan kondisi bahasa Inggris yang juga hancur-hancuran?. Beberapa waktu silam, di acara KickAndy, Rhenald Kasali, yang mendapatkan master dan PhD di Amerika Serikat, berterus-terang kalau dirinya tak bisa bahasa Inggris saat lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Lain lagi dengan Yohannes Surya. Pakar fisika, yang sukses mengorbitkan siswa-siswa cerdas Indonesia hingga meraih 75 medali emas olimpiade fisika ini, hanya memiliki Toefl 415 saat mengajukan beasiswa ke Amerika Serikat. Tetulah kedua contoh diatas sudah cukup menggambarkan bahwa pamer intelektual dengan bahasa adalah sesuatu yang perlu di koreksi. Karena apabila hal ini terus berlanjut akan semakin mengancam eksistensi bahsa Indonesia di negrinya sendiri.
Memang benar kita perlu menglengkapi diri dengan penguasaan bahasa internasional, hal ini semata-mata untuk mengikuti perkembangan keilmuan yang ada saat ini, dimana keilmuan cenderung “dimonopoli” oleh bahasa internasional tersebut. Tetapi alangkah bijaknya bila masalah perbahasaan ini diletakan pada situasi dan kondisi tertentu yang memang relevan dengan penggunaan bahasa internasioanal. Misalnya pada saat forum internsional, saat forum intelektual multi bangsa. Bukan pada forum-forum dimana terdapat orang awam yang kurang paham dengan penggunaan-penggunaan bahasa asing. Bukan pula pada tataran kampanye calon lurah ala Vicky Prasetyo.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar