Masih segar diingatan fenomena pertelevisian atau
lebih tepatnya “pergosipan” nasional
tentang Viki Prasetyo. Seorang tunangan artis yang tiba-tiba saja
menjadi buah bibir khalayak ramai karena
penggunaan bahasa-bahasa yang “tidak biasa”. Lagi-lagi fenomena ini diawalai
dari jejaring sosial berbasis video, youtube. Sudah bukan barang asing lagi
bila youtube menjadi trend setter pergosipan
nasional sebut saja , fenomen Mbah Subur Vs Arya Wiguna, Udin Sedunia bahkan
seorang oknum polisi yang jadi artis dadakan, Norman Kamaru. Yang sukses
mengorbit kedunia pergosipan nasional berkat jasa Youtube.
Mungkin sebagian masyarakat hanya menganggap
peristiwa Vikinisasi sama seperti fenomena-fenomena sebelumnya yang cepat atau
lambat ditelan bumi dan hilang. Namun, bila kita kaitkan fenomena ini dengan
dunia ketatabahasaan kita maka akan ditemui sebuah fakta menarik. Bahwa
ternyata banyak diantara oknum-oknum tokoh publik yang menggunakan motif
vikinisasi dalam berbagai penampilanya didepan khalayak. Dalam artian yang
terpenting adalah mereka tampak meyakinkan dengan bahasa intelek ditaburi
bahasa Inggris, masalah khalayak mampu mencerna kata-kata itu atau tidak
bukanlah sesuatu yang perlu dipusingkan bagi mereka.
Bahasa asing telah digunakan sebagai lambang
supremasi oleh oknum-oknum tertentu. Jadi tidak penting apakah pendengar
memahami apa yang mereka bicarakan, namun yang terpenting adalah mereka dapat
mendongkrak “nilai” di depan pendengar dengan penggunaan-penggunaan bahasa asing
terebut. Khalayak berlomba-lomba tampil dengan bahasa-bahasa asing yang belum
tentu di pahami oleh publik semata-mata agar terlihat lebih intelek. Dalam
bahasa sederhana dapat diartikan bahsa seseorang yang bisa berbahasa asing
dalam hal ini bahasa inggris, adalah mereka yang “wah” secara intelektual.
Tentulah hal ini perlu dikaji ulang, mengingat ada fakta-fakta yang terkait
dengan pandangan keliru ini.
Dunia Intelektual di Indonesia memang senantiasa
penuh dengan mitos-mitos. Banyak yang menganggap bahwa kemampuan bahasa Inggris
adalah sesuatu yang wajib, sehingga akan menimbulkan dosa besar bagi mereka
yang tidak menguasainya. Tapi tahukah anda bahwa Prof Rhenald Kasali, seorang
pakar manajemen terkemuka, saat berangkat kuliah ke Amerika Serikat (AS) dengan
bahasa Inggris pas-pasan? Tahukah anda bahwa Prof Yohannes Surya juga berangkat
ke Amerika dengan kondisi bahasa Inggris yang juga hancur-hancuran?. Beberapa
waktu silam, di acara KickAndy, Rhenald Kasali, yang mendapatkan master dan PhD
di Amerika Serikat, berterus-terang kalau dirinya tak bisa bahasa Inggris saat
lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Lain lagi dengan
Yohannes Surya. Pakar fisika, yang sukses mengorbitkan siswa-siswa cerdas
Indonesia hingga meraih 75 medali emas olimpiade fisika ini, hanya memiliki
Toefl 415 saat mengajukan beasiswa ke Amerika Serikat. Tetulah kedua contoh
diatas sudah cukup menggambarkan bahwa pamer intelektual dengan bahasa adalah
sesuatu yang perlu di koreksi. Karena apabila hal ini terus berlanjut akan
semakin mengancam eksistensi bahsa Indonesia di negrinya sendiri.
Memang benar kita perlu menglengkapi diri dengan
penguasaan bahasa internasional, hal ini semata-mata untuk mengikuti
perkembangan keilmuan yang ada saat ini, dimana keilmuan cenderung “dimonopoli”
oleh bahasa internasional tersebut. Tetapi alangkah bijaknya bila masalah
perbahasaan ini diletakan pada situasi dan kondisi tertentu yang memang relevan
dengan penggunaan bahasa internasioanal. Misalnya pada saat forum internsional,
saat forum intelektual multi bangsa. Bukan pada forum-forum dimana terdapat
orang awam yang kurang paham dengan penggunaan-penggunaan bahasa asing. Bukan
pula pada tataran kampanye calon lurah ala Vicky Prasetyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar