Masa mahasiswa tentu sudah kita impi-impikan kehadiranya sejak dari SD atau bahkan TK. Masa diman sinetron menggambarkan dimasa ini penuh dengan suka cita, cinta juga hura-hura. Seolah mahasiswa adalah masa keemasan dimna cinta bersemi dengan segarnya. Berwarna-warni penuh dengan bunga-bunga penghias kehidupan. Hanya sedikit dari pencitraan sinetron tentang mahasiswa itu menyentuh ralita yang sebenarya di hadapi mahasiswa.
Mulai dari makalah, organisasi, presentasi, idealisme, hingga tanggung jawab. Sisi ini seolah kurang menarik untuk di expose, karena tidak cukup “sexy” untuk mengundang khalayak ramai menonton. Dan ujungnya masalah rating jugalah sang “hakim agung”.
Anggaran pendidikan itu sebesar 20% dari total APBN. Dan para mahasiswa merupakan “penikmat” terbesar alokasi ini dibanding jenjang-jenjang sebelumnya. Tentulah dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa mahasiswa juga adalah yang menanggung tanggung jawab moral tertinggui atas adanya alokasi tersebut karena telah menikmati manisnya subsisdi pendidikan. Terlepas dari para koruptor-koruptor alokasi pendidikan, yang tentunya mereka lebih pantas disebut pemerkosa anggaran. Mahasiswa tetaplah harus bertanggung jawab atas madu yang telah diberikan oleh iuran masyarakat dalam bentuk pajak yang selanjutnya dialokasian oleh pemerintah. Sementara banyak kita temui dilapangan anak dari sang pesakitan pajak karena harus banting tulang, peras keringat bayar pajak, justru tidak cukup difasilitasi untuk mendapatkan feedbeck dari pajak itu sendiri.
Cinta, hura-hura, memang identik dengan usia muda. Dan mahasiswa pun merupakan bagian dari pemuda. Tentulah bukan barang yang aneh bila mahasiswa juga meggeluti dunia cinta juga hura-hura. Numun tidak boleh di tampik adanya fakta bahwa mahasiswa juga dibebani dengan apa yang disebut sebagai tanggung jawab serta kewajiban atas setatusnya sebagai mahasiswa. Ini adalah peran yang telah dibebankan oleh mayarakat kepada mahasiswa. Dengan konsekuensi stigma negative bahkan bisa saja pengadilan frontal masyarakat kepada mahasiswa apabila masiswa gagal memerankan tokoh yang telah dibebankan kepadanya.
Kita lihat saja bahwa sering terlihat di televisi atau media masa lainya, mahasiswa bentrok dengan warga karena demo. Lalu ada pertanyaan yang menggelitik tentang hal ini. Tujuan demo secara formal itu untuk membela masyarakta. Lalu kenapa masyarakat justru melawan?. Jadi apakah mungkin sesuatu yang dibela justru melawan mereka yang membela. Ataukah telah terjadi pergeseran idealisme kearah transaksional dalam kasus ini. E N T A H L A H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar